Sekarang, kita akan menyelami penyebab dari pemanasan global dan perubahan iklim. Selain faktor-faktor alami yang memang sudah ada sejak lama, aktivitas manusia juga memainkan peran besar dalam fenomena ini. Yuk, kita bahas satu per satu!
Perubahan iklim Bumi bukanlah hal baru. Sejak jutaan tahun lalu, iklim Bumi mengalami berbagai perubahan alami. Misalnya, perubahan dalam orbit Bumi, pergeseran sumbu rotasi, dan variasi dalam distribusi radiasi Matahari. Variabilitas ini adalah bagian dari siklus alami Bumi dan Matahari. Perubahan ini dapat mempengaruhi pola cuaca dan suhu dalam jangka waktu yang sangat panjang, namun saat ini perubahan ini hanya berkontribusi sebagian kecil terhadap perubahan iklim yang kita alami sekarang.
Aktivitas vulkanik juga berperan; letusan besar dapat melepaskan partikel dan gas ke atmosfer yang memblokir sinar Matahari, menyebabkan penurunan suhu global untuk sementara waktu. Namun, meskipun faktor ini dapat mempengaruhi iklim, kontribusinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak dari aktivitas manusia.
Gunung Merapi erupsi (Kompas TV)
Gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), nitrogen oksida (N₂O), dan gas fluorinasi memainkan peran utama dalam pemanasan global. Aktivitas manusia telah secara signifikan meningkatkan konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, memperburuk efek rumah kaca. Berikut adalah rincian masing-masing gas rumah kaca dan dampaknya terhadap pemanasan global.
CO₂ adalah gas rumah kaca utama yang dihasilkan dari proses pembakaran. CO₂ dihasilkan oleh manusia dari pembakaran bahan bakar fosil, limbah padat, dan kegiatan perindustrian. Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi, seperti minyak bumi, batu bara dan gas, menyumbang 36% emisi CO₂ global, 27% dari sektor transportasi, 21% dari sektor industri, 15% dari sektor rumah tangga dan jasa, dan 1% dari sektor lain-lain. Saat ini, CO₂ menyumbang sekitar 76% dari total emisi gas rumah kaca antropogenik. Konsentrasi CO₂ di atmosfer telah meningkat drastis sejak era pra-industri, dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi lebih dari 410 ppm saat ini.
Metana adalah gas rumah kaca yang sangat kuat, dengan potensi pemanasan global sekitar 25 kali lebih besar daripada CO₂ dalam periode 100 tahun. Konsentrasi metana di atmosfer meningkat sekitar 150% sejak tahun 1750. Metana banyak dihasilkan dari pertanian (terutama dari sistem pencernaan hewan ternak), pengelolaan limbah, dan kebocoran dari sistem gas alam. Metana berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global meskipun berada dalam konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan CO₂.
N₂O memiliki potensi pemanasan global yang jauh lebih besar dibandingkan dengan CO₂, yaitu sekitar 265 kali lebih besar dalam periode 100 tahun. Emisi N₂O terutama berasal dari aktivitas pertanian, penggunaan pupuk nitrogen, serta pembakaran bahan bakar fosil dan proses industri. N₂O adalah gas rumah kaca yang sangat kuat dan signifikan dalam konteks perubahan iklim, meskipun presentasinya di atmosfer lebih kecil dibandingkan CO₂ dan metana.
Beberapa jenis gas rumah kaca, seperti hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), sulfur heksafluorida (SF₆), dan nitrogen trifluoride (NF₃), merupakan gas-gas sintetis yang memiliki potensi pemanasan global yang sangat tinggi. Gas-gas ini sering digunakan dalam berbagai aplikasi industri, komersial, dan rumah tangga, terutama sebagai alternatif pengganti bahan yang merusak ozon seperti klorofluorokarbon (CFC). Meskipun kontribusi emisinya terhadap total emisi gas rumah kaca global lebih rendah dibandingkan dengan gas-gas lain, potensi pemanasan global dari gas-gas fluorinasi ini bisa ribuan kali lebih besar. Oleh karena itu, meskipun emisinya lebih sedikit, dampak jangka panjang gas fluorinasi terhadap perubahan iklim sangat signifikan.
Penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak Bumi, dan gas alam adalah salah satu penyebab utama emisi CO₂. Ketika bahan bakar fosil ini dibakar untuk pembangkit listrik, transportasi, dan kebutuhan industri, CO₂ dilepaskan ke atmosfer dalam jumlah besar. Pada tahun 2023, sekitar 80% dari konsumsi energi dunia berasal dari bahan bakar fosil. Ini menyebabkan emisi CO₂ yang signifikan.
Deforestasi, atau penggundulan hutan, mengakibatkan berkurangnya jumlah pohon yang dapat menyerap CO₂ dari atmosfer melalui fotosintesis. Ketika hutan ditebang untuk membuka lahan pertanian, perkebunan, industri, pemukiman, dan pembangunan, CO₂ yang diserap oleh pohon-pohon tersebut dilepaskan kembali ke atmosfer. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa deforestasi di Indonesia berkontribusi sekitar 15% dari total emisi gas rumah kaca nasional.
Deforestasi untuk lahan pertanian (Geotimes)
Pertumbuhan industri dan urbanisasi meningkatkan permintaan energi sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Industri memerlukan energi dalam jumlah besar, yang sering diperoleh dari bahan bakar fosil. Urbanisasi, atau pertumbuhan kota, juga menyebabkan peningkatan konsumsi energi untuk transportasi, pemanasan, dan pendinginan. National Geographic mencatat bahwa kota-kota besar menghasilkan lebih dari 70% dari emisi CO₂ global. Urbanisasi juga menyebabkan perubahan albedo permukaan Bumi, yang meningkatkan efek pemanasan.
Ilustrasi emisi gas rumah kaca dari industri
Dengan informasi dan data dari sumber resmi ini, kita bisa lebih memahami bagaimana aktivitas manusia utama berkontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Pemahaman ini membantu kita untuk lebih menyadari dampak aktivitas kita dan memotivasi tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Teruslah semangat dalam belajar dan menjaga lingkungan kita!
Ayo teman-teman kerjakan soal latihan plus pembahasan berikut agar anda semakin paham materi di atas!